FILSAFAT RASIONALISME
Secara etimologis, rasionalisme berasal
dari kata dalam bahasa Inggris yaitu rationalism
Aliran filsafat rasionalisme menyatakan bahwa kebenaran berasal di pikiran dan
hanya dapat diperoleh dengan akal saja. Oleh karena pikiran dapat memahami
pengetahuan, maka pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang apriori, di
mana pengalaman harus ditinjau dengan pengetahuan apriori tersebut
Istilah apriori berasal dari bahasa
Latin prius yang berarti unsur-unsur dan a bermakna “tidak” atau
“sebelum”, maka dapat dinyatakan apriori berarti unsur yang sebelum bertemu
pengalaman
Terminologi ini dipopulerkan dan
sering digunakan oleh Immanuel Kant. Menurutnya, manusia sudah memiliki
pengetahuan yang exist di pikiran bahkan sebelum berinteraksi dengan
pengalaman di sekitarnya
Artinya, akal merupakan alat ukur utama untuk memperoleh pengetahuan. Pengetahuan apriori merupakan argumentasi logis mengenai rasionalisme. Seseorang yang berpikir dengan akalnya untuk memperoleh pengetahuan adalah sudah melakukan rasionalisme.
📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚
Meskipun rasionalisme adalah bagaimana berpikir dengan akal, rasionalisme tidak sesederhana berpikir saja. Pemikiran dengan pendekatan rasionalisme harus melibatkan proses berpikir secara kritis. Salah satu contoh penerapan rasionalisme yang bijak dalam kehidupan sehari-hari adalah menyikapi hal-hal janggal seperti ancaman penipuan.
Ketika orang berusaha menipu, maka cara paling aman adalah dengan rasionalisme yaitu dengan mempertimbangkan pengetahuan apriori yang sudah dimiliki. Manusia bisa mengetahui ancaman penipuan dengan memperhatikan hal-hal janggal dari sang penipu. Misalnya yang marak adalah penipuan berhadiah dengan meminta uang ditransfer terlebih dahulu.
Apakah harus mentransfer uang terlebih dahulu untuk mengetahui hal itu penipuan atau tidak? Logika sudah dapat menjawab bahwa hal ini adalah penipuan. Pengetahuan apriori atau pengetahuan yang sudah ada tanpa melalui pengalaman ini berperan dalam menyatakan penipuan atau tidak.
Contoh lainnya, banyak yang berkata air seni unta adalah obat. Cukup dengan pengetahuan apriori sebagai penerapan rasionalisme untuk menyatakan air seni unta adalah racun. Dengan akal, kita tentu sudah punya pengetahuan “bawaan” bahwa yang namanya zat sisa ekskresi bukanlah obat.
Rasionalisme adalah hal yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan apriori dapat mencegah kita dari langkah keliru seperti mencoba hal-hal yang secara logika dapat merugikan kita. Pendekatan rasionalisme tidak hanya diterapkan dalam penelitian ilmu pengetahuan. Hal ini dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan tanpa disadari oleh sebagian orang bahwa mereka sudah berfilsafat dengan melakukan hal ini.
📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚
Banyak yang berkata bahwa untuk mengetahui sesuatu ada baiknya dicoba terlebih dahulu. Hal ini jelas keliru jika diterapkan pada segala kondisi. Apabila mencoba sesuatu yang fatal dan tidak bisa diperbaiki, maka hal ini sangat merugikan. Oleh sebab itu, diperlukan pemikiran rasionalisme untuk mempertimbangkan sesuatu sebelum mengeksekusi.
Salah satu filsuf moderen yang memperkenalkan rasionalisme adalah Rene Descartes. Ia menyatakan bahwa segala pengetahuan perlu untuk diragukan. Contohnya seperti pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan, pengetahuan tentang adanya benda-benda, bahkan pengetahuan tentang Tuhan, hingga ilmu pasti yang paling sederhana.
Hal yang tidak dapat diragukan menurutnya adalah dirinya sendiri yang tidak diragukan lagi sedang ragu-ragu. Menurutnya, jika ia disesatkan dalam pemikirannya, hal itu membuktikan bahwa ada seseorang yang telah disesatkan. Descartes menyebut kondisi ini dalam diktumnya yang terkenal yaitu cogito, ergo sum yang berarti aku berpikir, maka aku ada (Puspitasari, 2012, p. 27).
Pemikiran Descartes mengajak kita untuk bersikap skeptis terhadap apapun yang sudah ada. Hal ini sangat baik, agar kita meninjau kembali apa yang sudah ada dalam pengetahuan apriori kita. Descartes selain seorang rasionalis, ia juga menganut filsafat skeptisisme.
Baginya, keragu-raguan merupakan alat untuk menemukan adakah hal yang dapat bertahan dari sikap ragu-ragu, yang dapat menjadi suatu kepastian (Munir, 1992, p. 8). Oleh sebab itu, ia berkata bahwa adalah sebuah kepastian bahwa dirinya sedang berada dalam keragu-raguan.
📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚📚
Skeptisisme juga dapat dijadikan pendekatan untuk mendapatkan jawaban terhadap segala sesuatu. Dengan bersikap ragu akan suatu hal, kita memiliki dorongan untuk mencari informasi. Misalnya, ketika seseorang mempertanyakan dalam dirinya mengenai apakah Tuhan ada atau tidak. Sebagai respon terhadap pertanyaan tersebut, ia mencari jawaban hingga ia mendapatkan jawaban atau bukti yang membenarkan eksistensi Tuhan sebagai sesuatu yang ada.
Sikap skeptis ini juga membuat kita berhati-hati dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan terhadap segala sesuatu. Keragu-raguan ini dapat mendorong kita untuk mempertimbangkan segala sesuatu dengan matang, tidak buru-buru dalam mengambil keputusan.
Kalimat “Aku berpikir, maka aku ada” yang dipopulerkan oleh Descartes menuai kritik. Ada pula anggapan yang berkata seharusnya “aku ada, maka aku berpikir” sebagai ungkapan yang benar. Terlepas dari kontroversi dan asal usul rumusan cogito, ergo sum, pesan yang dapat diambil dari ungkapan Descartes adalah pentingnya berpikir.
Pernyataan “Aku berpikir, maka aku ada” dapat diartikan bahwa manusia tidak akan terpisahkan dari berpikir. Manusia adalah makhluk yang berpikir, bahkan sikap ragu-ragu adalah bukti nyata kebenarannya. Artinya, manusia akan “mati” jika ia berhenti berpikir.
Maka dapat dinyatakan, jika seseorang tidak mau menggunakan otaknya untuk berpikir, ia ibarat mati, atau seperti zombie yang “hidup” namun pada hakekatnya adalah “mati” karena tidak mau berpikir. Di balik kalimat Descartes, kita dapat menyimpulkan bahwa keberadaan seseorang dapat diketahui orang lain adalah dengan berpikir.
Orang yang tidak mau berpikir, artinya ia tidak melakukan apapun. Dengan demikian, orang tersebut tidak ada bedanya dengan patung yang tidak melakukan apa-apa. Manusia adalah makluk yang berpikir. Namun tidak hanya berpikir, manusia harus mampu menciptakan karya yang membangun dari pemikirannya.
Silahkan klik → Kelemahan aliran rasionalisme
Bibliography:
Bagus, L. (2002). Kamus
Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Honer, S. M., & Hunt,
T. C. (2003). Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang
Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Munir, M. I. (2004). Tinjauan Terhadap Metode Empirisme dan Rasionalisme. Jurnal Filsafat, 14(3), 244.
Puspitasari, R. (2012).
Kontribusi Empirisme Terhadap Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Jurnal
Edueksos, 1(1), 27.
Tjahjadi, S. P. (2007). Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan. Yogyakarta: Kanisius.
Comments
Post a Comment