MARI MENGUBAH PERBEDAAN SEBAGAI ALAT MENYATUKAN BANGSA
Perbedaan memang menjadi alasan setiap orang untuk berselisih, menjadi alasan pertemanan menjadi rusak, persahabatan yang sudah lama terjalin menjadi hancur oleh karena suatu perbedaan. Artinya, memang sudah merupakan hal yang ada sejak zaman dahulu bahwa perbedaan menjadi alasan perpecahan, perselisihan, kebencian, dan lain-lain.
Namun marilah kita mengubah stereotype ini dengan menjadikan perbedaan sebagai alasan kita untuk bergandengan tangan dan saling mengasihi. Bukankah falsafah negara kita adalah bhinneka tunggal ika yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu juga? Artinya mendorong perbedaan sebagai alat mempersatukan bangsa tidak bertentangan dengan prinsip di dalam Pancasila dan UUD 1945.
Apabila perbedaan kelamin dapat menyatukan dua insan yang saling mencintai, lantas mengapa perbedaan pandangan tidak dapat menyatukan dua golongan yang saling berseberangan? Tentu mengubah hal ini merupakan perkara yang tidak mudah, mengingat di negara kita ada perbedaan sedikit saja sudah ricuh.
Banyak orang yang menjadi takut menyuarakan pendapatnya karena khawatir akan berbeda dengan mayoritas. Mereka takut karena pendapat mereka akan membuat mereka kehilangan nyawanya. Sangat jelas bahwa freedom of speech menjadi dibatasi oleh karena ketakutan ini.
Perasaan takut ini bukan tanpa sebab ada di dalam diri banyak orang. Sebab, banyak terjadi tindakan persekusi terhadap orang-orang yang mengutarakan pemikiran-pemikiran yang menurut orang lain bertentangan atau kontroversial.
Kebanyakan dari orang-orang yang dipersekusi ini dituduh melakukan ujaran kebencian sehingga dijerat dengan pasal 156a KUHP tentang penodaan agama. Mari kita simak isi dari pasal tersebut yang bagi sebagian orang dianggap sebagai pasal karet:
Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”
Isi pasal ini tidak secara jelas merincikan perbuatan apa yang dikategorikan sebagai penodaan terhadap agama di Indonesia. Hal yang mengherankan adalah hanya agama mayoritas di Indonesia yang selalu "berlindung" di balik pasal ini. Padahal, jika penodaan agama adalah menghina suatu agama dengan kata-kata kasar, maka bukankah agama selain agama mayoritas juga sering diperlakukan demikian?
Berbagai hinaan dan cercaan yang dilakukan oleh orang-orang yang dianggap ahli agama. Misalnya Habieb Rizieq Shihab, Yahya Waloni, Abdul Somad dan lainnya yang saya tidak ingat semua. Mereka tidak pernah diproses sampai masuk penjara karena kata-kata mereka.
https://chronosdaily.com/christian-watch-laporkan-yahya-walony-ke-bareskrim/
https://fin.co.id/2019/08/17/sebut-salib-ada-jin-kafir-ustad-abdul-somad-dipolisikan/
Saya menyatakan hal ini bukan meminta mereka harus dipenjara. Tidak perlu demikian, lebih baik berdialog secara akademis. Namun berdasarkan ucapan mereka yang seperti itu, rasanya dialog akademis santun tanpa logical fallacies dan ad hominen adalah hal yang mustahil.
Maksudnya di sini adalah jika mereka bisa melenggang bebas dengan kata-kata yang menyakitkan umat Kristen (walau saya tidak sakit hati, karena sudah biasa) serta tipuan-tipuan mereka, lantas mengapa minoritas yang tertangkap melakukan perbuatan yang dianggap menghina Islam, kebanyakan ditangkap?
Ini adalah bukti konkrit ketidakadilan negeri ini. Jelas sekali hukum di negara kita berpihak kepada mayoritas. Beberapa teman saya sudah diproses dan mendekam di balik jeruji besi, yang terbaru adalah Apollinaris Darmawan.
Beliau adalah seorang insinyur teknik mesin dari ITB, menyelesaikan S2 di Jerman dan S3 di Canada. Kiprah beliau sebagai orang yang mengkritik Islam sudah sejak tahun 2008. Buku yang sampai pernah dibahas di Kick Andy adalah 6 Ways Towards God yang sempat dilarang pengedarannya.
Selain beliau, ada pula Ahmad Fauzi yang merupakan penulis dengan pemikiran kontroversialnya. Pernah berurusan dengan polisi, namun dilepas karena dianggap mengidap skizofrenia. Keduanya adalah teman saya di Facebook dan saya mengenali mereka walaupun hanya sebatas di dunia maya.
Apa yang disampaikan baik Apollinaris Darmawan dan Ahmad Fauzi serta yang lainnya harusnya bukanlah hal yang mengganggu Islam, menurut saya. Dalam pemikiran saya, apabila Islam adalah agama yang besar, maka segala kritik, bahkan hinaan serta cercaan tidak akan menghalangi Islam sebagai agama besar di dunia.
Bukankah dengan membungkam mereka berarti mengakui mereka dapat mempengaruhi Islam? Jika Allah swt adalah Tuhan yang tidak mungkin dikalahkan oleh siapapun, lantas mengapa muslim takut dengan pemikiran mereka?
Saya tidak pernah melihat mereka mengatakan "bunuh muslim" atau "bencilah muslim" dan dapat disimpulkan tulisan mereka bukanlah menyatakan kebencian terhadap sesama manusia. Mereka hanya merefleksikan pemikiran mereka yang memang berbeda dengan Islam.
Apabila perbedaan pandangan dianggap menyebar penipuan, lantas mengapa penipuan Yahya Waloni, Irene Handono, Steven Indra Wibowo mengenai kiprah mereka sebelum menjadi muallaf dibiarkan saja? Seperti mengaku rektor, mengaku mantan biarawati dan mantan frater.
Ketiga klaim dari ketiga muallaf ini jelas adalah penipuan. Mereka menjadi muallaf bisa saja benar, tetapi klaim sebagai mantan rektor salah satu STT, mengaku mantan biarawati serta mantan frater sudah dibuktikan sejak lama sebagai penipuan.
http://www.bergelora.com/opini-wawancara/artikel/4673-dusta-ustazah-irena-handono.html
https://papuabaratpos.com/yahya-waloni-tak-pernah-jabat-rektor-ukip/
Mengapa ya? Sampai sekarang mereka tidak pernah diproses secara hukum, kalaupun pernah dilaporkan, tidak pernah sampai membawa mereka ke jeruji besi. Tetapi kalau orang-orang seperti Apollinaris Darmawan dan sejenisnya, cepat sekali diproses.
Menurut saya, kebohongan seperti ini harusnya diproses secara hukum. Mengenai opini mereka terhadap Kristen, misalkan di dalam salib ada jin kafir, Kristen agama sesat dll. Bagi saya silahkan saja mereka beropini, klaim kosong seperti itu tidak akan meruntuhkan Kekristenan.
Saya secara pribadi tidak merasa sakit hati dengan hinaan tersebut. Sudah berbagai hinaan dan cercaan yang saya terima terkait agama saya dan diri saya bertahun-tahun, biasa saja, tidak perlu dipermasalahkan.
Tetapi penipuan publik, berbohong seperti itu harusnya ditindaklanjuti agar ada efek jera. Opini-opini mereka yang berisi kebencian terhadap Kristen, alangkah baiknya dibawa ke ranah apologetika. Silahkan mereka pertahankan thesis statement mereka di hadapan para apologet Kristen, seberapa hebat mereka.
Berbicara apologetika, tentu melibatkan dialog antar dua keyakinan, pandangan yang berbeda. Salah satu bentuk implementasi apologetika adalah dialog lintas agama yang sudah pernah beberapa kali dilaksanakan. Ustadz Saifuddin Ibrahim adalah salah satu apologet Kristen yang sudah beberapa kali melawan Kristolog Muslim seperti Pdt Mokoginta dan lainnya.
Wah ga kebalik tuh pasang gelarnya? ha..ha..ha
Soalnya, Saifuddin Ibrahim dahulu adalah seorang Ustadz dan Mokoginta mengklaim sebagai mantan Pendeta, terlepas benar atau tidaknya. Oleh sebab itu, saya pasang gelar tersebut.
Suatu dialog lintas agama akan berjalan dengan baik apabila keduanya mau mendengar dan menghargai perbedaan. Menghargai perbedaan bukan berarti kita harus menyetujui pandangan tersebut, tetapi menghormatinya dengan tidak menghina pribadi orang yang memiliki pandangan yang berbeda dengan kita.
Apabila semuanya sama, tidak ada perbedaan, maka dunia ini tidaklah indah. Jika semua hewan dan tumbuhan bentuknya sama, maka dunia ini jelas menjadi membosankan. Demikian analogi sederhana untuk menyatakan bahwa perbedaan adalah hal yang lumrah dan eksistensinya adalah penting.
Dalam menerima perbedaan tanpa disertai caci maki, kebencian, kericuhan, tentu membuat kita menjadi pribadi yang lebih dewasa. Bayangkan jika setiap hari ada perbedaan lalu menjadi alasan untuk berselisih, tentu hidup tidak akan menjadi damai, karena selalu disertai pertikaian karena perbedaan.
Perbedaan pendapat, dilawan juga dengan pendapat, perbedaan argumen, dilawan juga dengan argumen. Bukan berarti perbedaan pandangan yang dinyatakan secara lisan maupun tulisan, direspon dengan adu fisik hingga menimbulkan korban jiwa.
Bukankah dengan hal tersebut menyatakan betapa kerdilnya jiwa orang yang mudah marah karena perbedaan pandangan? Apalagi melakukan adu jotos secara beramai-ramai, jelas sekali ini bukan tindakan berani, tetapi pengecut.
Apabila mereka yang demikian adalah orang yang benar-benar berani melawan secara fair, maka dilawan dengan argumentasi. Kajian intelektual dilawan dengan kajian intelektual juga, di situ terlihat keindahannya.
Tulisan ilmiah direspon dengan tulisan ilmiah juga, hal ini akan menambahkan pengetahuan literasi kedua orang yang saling "melawan" dengan tulisan ilmiah. Tidak hanya itu, tindakan ini akan menambah pengetahuan orang-orang yang menyimak tulisan ilmiah tersebut. Dengan demikian, cara seperti ini sangat bermanfaat bagi banyak orang.
Bukan dengan caci maki, menghina pribadi, kata-kata kebencian, apalagi sampai adu fisik yang dilatarbelakangi perbedaan pandangan yang seharusnya hanya dilawan dengan memberikan opini secara komprehensif nan santun.
Letak perbedaan pandangan dapat dijadikan landasan bagi kita menimba ilmu, kita belajar perspektif dari lawan kita, di situ persahabatan dapat terjalin. Dengan perbedaan, kita justru dapat saling bertukar pandangan, ilmu dan justru persahabatan dapat terjalin.
Meskipun hal ini sulit, mengingat tidak semua orang mampu diajak untuk menghargai di tengah perbedaab. Namun, saya mengajak semua yang membaca tulisan ini untuk saling menghargai, bertukar pandangan secara santun, diskusi bahkan debat secara komprehensif, santun dan jelas.
Perbedaan sesungguhnya merupakan hal yang indah, hanya tidak semua orang menyadarinya. Sesungguhnya bahwa perbedaan ideologi, opini, ide dan golongan adalah sebuah anugerah, tetapi tidak semua dapat memanfaatkannya.
Comments
Post a Comment